STOP Mengeluh
السلام عليكم ورحمة الله وَبَرَكَاتهُ
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْـــــم
Sahabat-sahabatku yang dirahmati Allah
Hidup di kota besar semacam membutuhkan kekuatan iman dan kekuatan mental. Macet di perjalanan dalam waktu-waktu tertentu adalah suatu permasalahan yg kadangkala sering kita hadapi.
Tak heran bila untuk sebuah perjalanan, kalau
kita tidak memakai strategi yang bagus, tidak memakai perencanaan yang matang,
maka kemacetan akan benar-benar mencuri waktu begitu lama.
Terkadang bisa berjam-jam di jalan. Kalau saja
tidak berusaha untuk bening hati, sepertinya sepanjang jalan yang terjadi hanya
dongkol dan marah-marah. “Aduh , kapan sampainya! Aduh, kok ini lama banget!
Aduh, kok macet terus!” Mungkin ungkapannya seperti itu. Aduh dan aduh.
Padahal kata-kata aduh, kalau hanya tanda keluh
kesah, sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Justru kata-kata yang terlontar
itu menunjukkan ketidaksabaran kita. Apalagi tiba-tiba di pinggir jalan ada
kendaraan lain berhenti seenaknya. Kita boleh kecewa dan melihat ini sebagai
sesuatu yang harus diperbaiki.
Tetapi, tidak berarti kita harus sengsara
dengan marah-marah atau berkeluh kesah. Mata terbeliak dan mulut kadang berucap
“Minggir, dong!” Mungkin inginnya menghardik seperti itu.
Tetapi, alangkah lebih baiknya jika kita
menyapa dengan kata yang lemah lembut, “Maaf, Pak! Boleh agak ke pinggir
sedikit!” Ungkapan seperti ini nampaknya akan lebih ringan ke dalam hati, dari
pada melotot dengan menggunakan otot.
Boleh jadi kalau sudah banyak kedongkolan,
selain akan banyak berkeluh kesah, juga akan menjadikan diri lebih emosional.
Ini yang paling merugikan. Bagi kita maupun orang lain. Kita harus mengukur
kehilangan waktu dalam beberapa menit atau beberapa jam, padahal waktu tersebut
sebenarnya dapat menjadi tambahan ilmu dan kemampuan diri kita.
Ada baiknya, selama perjalanan lengkapi diri
dengan sumber-sumber ilmu, baik berupa kaset ceramah, nasyid, atau kaset
murotal Qur’an. Sumber-sumber ini akan menambah percepatan keilmuan kita,
disamping akan membuat kita tidak tergoda untuk ber-aduh ria. “Aduh, terlambat
nih! Aduh, sialan kamu! Aduh, ada yang ketinggalan nih!”
Kata-kata seperti ini sebetulnya tidak perlu
dikeluarkan! Karena tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik kita isi dengan
do’a : “Ya Allah, semoga saya datang tepat waktu, semoga ada jalan keluar dari
kemacetan ini”. Kata-kata ini akan lebih produktif dibandingkan dengan kata
“aduh”.
Marilah kita meminimalisirkan keluh-kesah
seperti ini. Apalagi bagi kita pun ada kenikmatan tersendiri bila kita bicara
lebih santun. Kesantunan akan membuat batin kita lebih ringan dari pada
berperilaku emosional.
Lebih dari itu, kelembutan akan mampu
menaklukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan kekerasan. Itu sudah bagian
dari rumusnya. Karena, kalau orang-orang keras dilawan dengan kekerasan, maka
itu akan merasa bagian dari dunianya.
Tapi, kalau orang-orang yang bertemperamen
keras itu diberi kelembutan yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam, Insya
Allah mereka akan terbawa lembut juga. Contohnya, orang sekeras Umar bin
Khattab atau Khalid bin Walid bisa jatuh tersengkur menagis oleh lembutnya
alunan Al-Qur’an.
Berkeluh kesah seringkali membuat kita
terdramatisasi oleh masalah. Seakan-akan rencana dan keinginan kita lebih baik
daripada yang terjadi. Padahal, belum tentu. Siapa tahu, di balik kejadian yang
mengecewakan menurut kita, ternyata sarat dengan perlindungan Allah dan sarat
dengan terkabulnya harapan-harapan kita. Tiap melakukan kekeliruan, kita
ditolong Allah dengan memberikan tuntunan-Nya.
Tuntunan itu tidak harus dengan terkabulnya
keinginan yang kita mohonkan. Bisa jadi terkabulnya do’a itu bertolak belakang
dengan yang kita minta. Karena Allah Maha Tahu di balik apapun keinginan kita.
Baik keinginan jangka pendek, maupun keinginan
jangka panjang.
Baik kerugian duniawi maupun kerugian ukhrawi.
Baik kerugian secara materi maupun secara
kerugian mental. Kita tidak bisa mendeteksi secara cermat. Kadang-kadang kita
hanya mendeteksinya sesuai dengan keperluan hawa nafsu kita.
Kelihatannya sepele mengaduh ini. Tetapi, itu
akan menjadi kualifikasi pengendalian diri kita. Ketahuilah bahwa kualitas
seseorang itu tidak diukur dengan sesuatu yang besar-besar, tetapi oleh yang
kecil-kecil.
Kalau kita ingin melihat kompleks perumahan yang
berkualitas, maka kita lihat saja panjang pendek rumput di halamannya. Kalau
berkualitas dan terawat dengan baik, maka rumputnya pun akan nampak terawat
dengan baik.
Marilah kita respon setiap kejadian demi
kejadian dengan respon lisan yang positif. Mengapa? Karena setiap respon akan
mempengaruhi persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi dan cara kita
menyelesaikannya.
Lebih dari itu akan berdampak pula kepada
orang-orang di sekitar kita. Jadi, sapaan-sapaan, teguran-teguran,
komentar-komentar, celetukan-celetukan ini harus benar-benar bernilai
produktif. Tidak hanya berarti bagi diri kita, tetapi juga bagi orang di
sekitar kita.
Apalagi keluh kesah termasuk penyakit hati,
yaitu bentuk ketidaksabaran kita dalam menerima ketentuan dari Allah. Ada
hadits qudsi yang menyatakan bahwa “Siapa saja yang tidak ridha terhadap
ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan selain
Aku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits qudsi ini, nampaklah bahwa segala
apapun yang Allah karuniakan kepada kita, maka kita harus menerimanya dengan
ridha. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak mengaduh atau berkeluh kesah.
Sedapat mungkin kurangi aduh-mengaduh ini. Jauh
akan lebih produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah
kualitas keilmuan diri serta terus menyempurnakan ikhtiar di jalan Allah yang
diridhai.
Demikianlah, semoga tulisan sederhana ini ada
manfa'atnya agar kita tdk banyak mengeluh yg tentu saja akan merugikan diri
sendiri.
Wassalam
Post a Comment
Post a Comment